Laporan ABARE (Australian Bureau Research for Agriculture and Economic Resource) Maret 2007 perihal perdagangan batu bara dunia di tahun 2005-2006 menempatkan Indonesia sebagai pemasok batu bara terbesar (sekitar 25%) di dunia, disusul oleh Australia, Afrika Selatan, RRChina, Federasi Rusia, Kolombia, dan Amerika Serikat. Besaran pasokan batu bara Indonesia di dunia diperkirakan sebesar 158 juta di tahun 2006 atau terjadi peningkatan sekitar 28 persen dari tahun 2005, yaitu sekitar 123,3 juta ton.
Jikalau harga pasaran batu bara berdasarkan harga spot-market Asia pada tahun 2006 sekitar US$ 45, dapat diperkirakan besaran perdagangan batu bara Indonesia di tahun 2006 bernilai sekitar 7,1 miliar dolar atau sekitar 63,3 triliun rupiah. Oleh ABARE, ekspor batu bara Indonesia dipekirakan dapat mencapai 200 juta ton di tahun 2012.
Lebih lanjut bila mengamati pergerakan trafik ekspor batu bara Indonesia 2005-2006, dapat diinformasikan bahwa orientasi pasar kita selain ke sejumlah negara Uni-Eropa, juga didominasi oleh pasar Asia terutama China, Taiwan, India, dan Korea serta negara-negara sekitar ASEAN, yaitu Malaysia dan Thailand.
Paling tidak untuk pasar Asia saja, besaran pasar angkutan laut batu bara internasional Indonesia diperkirakan sekitar 233,8 miliar ton-mil belum termasuk operasi balik (ballast-voyage) dengan kebanyakan menggunakan kapal tipe bulk-carrier Handymax dengan kapasitas 40,000-50,000 deadweight-ton (DWT) per satuan pengapalannya (shipment).
Dengan asumsi charter-rate satu tahun rata-rata dunia (khususnya untuk tipe kapal handymax) pada tahun 2006 sekitar US$ 0,002-0,003 per ton-mil, nilai pasar angkutan (charter) kapal bulk-carrier dari Indonesia diperkirakan sekitar 780 juta atau kurang lebih 6,7 triliun rupiah. Yang berarti besaran pangsa angkutan laut batu bara untuk regio Asia mengambil porsi sekitar 10% dari nilai perdagangannya di tahun 2006.
Dengan asumsi pasokan cadangan batu bara nasional sekitar 5 miliar ton dan volume produksi per tahun sekitar 190 juta ton diperkirakan merupakan kekuatan utama yang menjadikan Indonesia tetap sebagai pemasok batu bara dunia paling tidak dalam 3 tahun mendatang. Sekalipun berbagai kendala produksi dan relatif besarnya permintaan batu bara secara domestik sekitar 35-36 juta ton per tahun dapat menjadi faktor yang mempengaruhi. Hal ini diasumsikan terjadi dengan catatan bila permasalahan keterbatasan infrastruktur logistik terutama pelabuhan di negara-negara kompetitor seperti Australia, Afrika Selatan dan Kolombia masih seperti saat ini.
Persoalan Serius yang Perlu Diatasi
Indonesia sendiri dalam percaturan perdagangan batu bara dunia memiliki persoalan krusial yang seharusnya dibantu oleh kebijakan pemerintah dalam penyelesaiannya. Persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi industri batu bara kita saat ini berkisar pada lemahnya investasi eksplorasi dan eksploitasi batu bara, semakin tingginya biaya produksi, isu kepemilikan dan kompensasi lahan, serta terbatasnya jalur sungai dalam transportasi tongkang batu bara termasuk kehandalan kapal angkut tongkang batu bara itu sendiri.
Investasi baru di bidang batu bara secara dominan hanya terlihat jelas dengan masuknya Tata Power (sebuah perusahaan grup konglomerat Tata-India) yang mengakuisisi sekitar 30% saham PT. Bumi Resources, terutama di dua perusahaan besar yang menguasai sekitar 50% produksi batu bara Indonesia, yaitu PT. Kaltim Prima Coal dan PT. Arutmin dengan nilai investasi sekitar 1,3 miliar dolar AS di awal tahun 2007 ini. Selain investasi baru ini (yang praktis berorientasi pada lahan eksploitasi eksis), tidak terlihat rencana penguatan daya saing logistik batu bara nasional secara signifikan.
Sementara itu, kompetitor kita terus melakukan ekspansi pelabuhan batu baranya secara masif dengan dukungan dana investasi yang relatif besar. Di Australia misalnya walaupun terjadi problem antrean di beberapa pelabuhan utama mereka seperti di wilayah Newcastle, yaitu pelabuhan Kembla, namun realisasi ekspansi pelabuhan batu bara dan jalur kereta api oleh pemerintah Australia di pelabuhan Waratah, Gladstone, dan Hay-point mulai tahun 2008 dapat beroperasi guna mengakomodasi sekitar 100 juta ton tambahan dari lahan eksploitasi baru di Wambo dan Ulan Longwall (Newcastle), Wilpinjong (New South Wales), dan Cogan-Creek di Queensland.
Sementara di Afrika Selatan pengembangan Richard-Bay Coal Terminal diperkirakan dapat menambah sekitar 20 juta ton di tahun 2007 ini. Hal yang sama juga terjadi di Kolombia di mana pemerintah telah mengeluarkan dana sekitar 300 juta US$ untuk pengembangan Santa Marta Bay untuk pengembangan jalur kereta-api dan pelabuhan dengan proyeksi kapasitas perdagangan baru hingga sekitar 80 juta ton mulai tahun 2008.
Kekuatan sekaligus Kelemahan
Secara logistik, kekuatan Indonesia berada pada pola angkutan sungai yang memang hingga saat ini merupakan moda yang lebih kompetitif dibandingkan dengan pola kereta api (rail) ke pelabuhan angkut seperti yang dilakukan di Australia, Afrika Selatan, dan Kolombia. Biaya angkut dengan menggunakan tongkang sekitar US$ 0,015 per ton-km, sementara dengan menggunakan kereta-api minimal sekitar US$ 0,3-0,4 per ton-km.
Maka, mengingat situasi alur sungai di wilayah Kalimantan yang semakin padat dan laju pendangkalannya mencemaskan, pemerintah dan pengusaha industri batu bara perlu secara cepat menanggulanginya.
Dalam masa ke depan, seharusnya industri maritim kita dapat memanfaatkan pasar batu bara yang menguntungkan ini untuk pengembangan armada angkutan batu bara nasional baik untuk tipe tongkang dan bulk-carrier. Pengembangan bulk-carrier tipe handymax sebaiknya dapat dikonsentrasikan di dalam negeri mengingat kemampuan dan kapasitas riil galangan-galangan kapal kita di Surabaya, Jakarta, dan Batam dapat memenuhi kebutuhan itu. Investasi pemerintah perlu digiatkan untuk pembangunan prasarana perkapalan batu baru, agar menjadi tuan di rumahnya sendiri.
Hal lain berkaitan dengan isu tentang pemanasan global (green-house effect) diperkirakan dapat menjadi rintangan baru bagi indutri batu bara dunia di masa depan. Batu bara masih dianggap sebagi penghasil emisi gas buang yang dominan terhadap dunia seperti yang dinyatakan dalam konvensi Kyoto-Protocol yang memungkinkan terjadinya perlambatan konsumsi batu bara dunia sebagai sumber listrik mungkin hingga kurang dari 7% seperti pertumbuhan di tahun 2005-2006.
Kita bagai memegang buah simalakama, di satu sisi produsen terbesar batu bara di dunia, pada sisi lain bisa menjadi penyumbang terbesar polusi dunia. Di sini juga perlu dicari jalan keluarnya.
Oleh : Saut Gurning
Penulis adalah pengamat maritim ITS Surabaya. Sekarang sedang mengambil program
PhD di Australia Maritime College (AMC), Tasmania, Australia.
0 komentar:
Posting Komentar